Isi Cerita adalah perjuangan seorang TKW dalam mengarungi bahtera kehidupan. Masalah TKW ternyata tidak hanya terjadi antara Majikan dan TKW, tetapi juga terjadi masalah mengharukan saat TKW berada dalam rumah penampungan di Arab Sana. Adanya intrik sosial sesama TKW saat berada di rumah penapungan juga merupakan permasalahan tersendiri para TKW dalam rumah penampungan. setting tempat diambil di Uni Emirat Arab, tepatnya di Abu Dhabi.. so bacalah kisah TKW bernama Zaitun di rumah penampungan ini, cekidot..
Oleh : Mokes Smoke
Rumah itu tampak besar. Terletak disebelah Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Rumah itu adalah tempat penampungan bagi para TKW di Emirat arab. Rumah penampungan itu disewa oleh pihak Kementerian Ketenagakerjaan, di bawah koordinator KBRI Abu Dhabi. Rumah penampungan bagi TKW memang menjadi perhatian pihak KBRI Abu Dhabi, karena KBRI Abu Dhabi merupakan salah satu wakil pemerintah Indonesia yang mendapat jatah Citizen Service dari Pemerintah. Citizen Service merupakan program Pemerintah Indonesia, untuk mengurus TKW yang berada disetiap Negara. Tentunya tidak setiap Negara mempunyai jatah program Citizen Service ini, hanya diperuntukan bagi perwakilan RI yang mempunyai TKI dalam jumlah banyak, yang memerlukan penanganan khusus, seperti di Timur Tengah.
Mahalnya harga sewa rumah di Emirat Arab menyebabkan pihak KBRI hanya bisa menyewa. Untuk memiliki rumah atau gedung di Emirat Arab tidak dimungkinkan, karena pemerintah Emirat Arab tidak memperjual belikan rumah atau gedung pada pihak perusahaan atau pemerintahan asing di Negara tersebut. Pemerintah Emirat Arab hanya memperbolehkan kepemilikan pribadi atas sebuah rumah atau gedung di Negara tersebut. Kepemilikan pribadi jelas tidak diperbolehkan dalam system kepemilikan tanah atau rumah dinegara kita. Sehingga sampai sekarang pihak pemerintah Indonesia atau KBRI hanya bisa menyewa, yang harga sewanya sama saja dengan harga beli rumah mewah di Jakarta. Bagi kalian yang ingin kerja di Emirat Arab, pikir dua kali deh, karena semuanya serba mahal. Kalo sekedar mahal mungkin masih bisa ditanggulangi bagi yang banyak duit, tapi bila mahal itdak dibarengi oleh kualitas, itu yang mungkin harus dipikir ulang. Emirat Arab yang berkualitas hanya emas, yang lainnya masih menang kualitas di Indonesia.
Pagi itu rumah penampungan mendapat tamu baru. Tamu baru itu seorang TKW asal Kepulauan Seribu. TKW itu bernama Zaitun. Zaitun datang dengan dua gembolan tas yang besar-besar. Satu tas koper ditengteng dengan tangan kanannya, sedangkan yang satu lagi tas yang berupa ransel di gemblok di punggungnya. Wajahnya tampak lelah, bajunya tampak acak-acakan. Zaitun diterima oleh petugas keamanan KBRI bernama Soberi.
“Nama?” Tanya Soberi ketus pada Zaitun.
“Zaitun pak! Zaitun Gandasturi,” Zaitun menjawab dengan lugas. Peluh tampak masih mewarnai jidatnya yang kotor oleh debu gurun.
“Pagi-pagi dah sampe kesini, Ada masalah apa?,” Tanya Soberi lagi. Zaitun hanya bisa mengelus dada. Apakah setiap orang yang datang ke KBRI harus diinterogasi kayak gini? Pikirnya kesal. Lelah belum hilang, lapar masih mengintai, tapi bukan disuruh masuk dulu, malah ditanya seperti orang minta sumbangan aja.
“Saya kabur dari rumah majikan pak, saya ingin pulang..” kata Zaitun memelas. Suaranya mulai bergetar, tampak air mata mulai mengembang. Ia seperti tidak sanggup lagi untuk ditanya lebih lanjut.
“Ya, sudah. Tunggu disini,” kata Soberi pelan. Rupanya ia tidak tega juga bertanya lebih lanjut pada Zaitun. Ia bisa merasakan air mata yang sudah mulai mengembang hampir jatuh di mata Zaitun. Sebenarnya hal seperti ini sudah sering ia temui. Sudah beratus-ratus TKW datang dengan berbagai macam alasan ke rumah penampungan. Pertanyaan yang diajukan oleh Soberi adalah pertanyaa standar yang ia berikan pada setiap TKW yang datang. Tapi rupanya ia tidak tega pada Zaitun.
Soberi lalu menghubungi seseorang, tidak lama orang itu kemudian datang. Ia seorang wanita cantik berusia sekitar 30-an. Soberi memperkenalkan Zaitun pada Wanita tersebut, yang kemudian diketahui oleh Zaitun adalah bu Tia, pengurus rumah penampungan tersebut. Zaitun dibawa pergi dari pos keamanan KBRI melalui pintu samping yang berhadapan langsung dengan pintu KBRI Abu Dhabi yang megah mentereng. Melalui gang sempit yang ada dibalik tembok setelah pintu masuk yang memisahkan KBRI dengan rumah penampungan, sapailah Zaitun pada pintu masuk utama rumah penampungan.
Zaitun duduk di ruang tunggu. Bu Tia yang membawanya ke tempat tersebut menyiapkan berkas untuk diisi oleh Zaitun, sebagai prosedur bila TKW datang membutuhkan bantuan pihak KBRI dan tinggal di rumah penampungan tersebut. Lalu Zaitun mengisi formulir yang diserahkan padanya. Setelah pengisian prosedur selesai, bu Tia memanggil seorang TKW bernama Zakiah TKW asal banten untuk mengantar Zaitun ke kamar penampungan di lantai dua.
“Maaf bu, sebelumnya terimakasih ibu sudah mau menerima saya di rumah penampungan ini. Saya hanya ingin menanyakan, apakah saya bisa pulang?” Tanya Zaitun sebelum ia meninggalkan ruang tunggu bagi para TKW. Ibu Mutia tampak tersenyum, ia seperti bisa merasakan kegelisahan yang dirasakan Zaitun, tentang nasib dia selanjutnya.
“Zaitun, kamu tenang saja. Data kamu dan majikan kamu sudah saya dapatkan dari formulir yang kamu isi tadi. Kami akan menghubungi majikan kamu, untuk menanyakan dokumen kamu. Sambil menunggu hal tersebut, kamu bisa tinggal sementara di rumah penampungan ini,” Zaitun mengangguk senang. Penjelasan yang sedikit dari bu Tia, sangat menenangkan jiwanya. Harapannya untuk kembali ke tanah air.
Zaitun naik ke lantai dua tempat para TKW berkumpul menjadi satu menunggu nasib mereka ke depan. Zakiah tampak mendampinginya. Tak ada sepata kata yang terucap pada mulut Zakiah. Ia tampak pendiam, atau ada sesuatu yang meresahkannya ditempat penapungan ini, sehingga ia lebih banyak diam saat mendampingi Zaitun.
“Namaku Zaitun, kamu siapa?” zakiah membuka percakapan pada Zakiah. Zakiah tidak menjawab, dia hanya terus berjalan menaiki tangga. Angkuh sekali, pikir Zaitun. Pikirannya sudah mulai tidak menentu. Zakiah juga tidak perduli kalau Zaitun tertatih-tatih menaiki anak tangga, sambil membawa koper dan tas gembloknya. Ia seperti tak perduli dengan keadaan Zaitun yang kesusahan membawa tas-tasnya tersebut. Zaitun mulai menebak-nebak, ada apa dengan Zakiah. Kenapa sombong sekali? Pikirnya resah. Dalam pikiran Zaitun adalah apa selanjutnya yang akan dia hadapi di rumah penampungan ini. Semuanya sejak ia baru pertamakali sampai banyak sekali kejadian yang membuatnya kadang terasa sedih, tapi kadang merasa nyaman.
Setelah melewati berapa anak tangga dengan susah payah, sampailah Zaitun pada pintu masuk tempat TKW berkumpul. Tampak mereka sedang asik menonton tipi yang berukuran besar yang disediakan oleh rumah penampungan. Fasilitas tersebut merupakan perhatian pihak KBRI pada para TKW. Pihak KBRI berharap dengan adanya tipi berukuran besar tersebut, para TKW dapat terhibur. Melupakan kesusahan yang menghinggapi mereka. Melupakan penantian kapan mereka pulang atau mendapat majikan baru yang diusahakan oleh pihak KBRI.
“Assalamualaikum.. pagi semuanya..” sapa Zaitun pada teman-teman barunya di KBRI tersebut. Jawaban salam mereka ucapkan pada Zaitun. Mereka tampak memandang ke Zaitun. Pandangan mereka tampak berbeda-beda. Ada yang berbisik-bisik, ada yang encoba tersenyum walau dipaksakan.
“Namaku Zaitun Gandasturi, asal kepulauan seribu. Senang bertemu dengan kalian,” katanya memperkenalkan diri.
“Kita gak nanya tuh..” kata seseorang dari dalam kamar. Disambut geer para TKW di penampungan tersebut. Candaan itu hanya dibalas senyum kecut oleh Zaitun dan terasa sangat garing didengarnya. Mereka tampak acuh dan tak acuh pada kedatangan Zaitun, mereka kembali sibuk dengan tontonan acara di tipi. Zaitun lalu menuju tempat kosong di pojokan dekat jendela belakang. Dengan perasaan lelah ia menaruh semua tasnya dipojokan tersebut.
“Hei! Itu tempatku, kamu jangan sembarangan naruh tas disitu, Tanya dulu dong! Udik banget sih!” seseorang tiba-tiba berteriak padanya. Wanita itu tampak memasang muka asam pada Zaitun dan menghampirinya. Dengan kasar ia menendang semua tas yang telah ditaruh oleh Zaitun di pojokan tembok tersebut. Zaitun kaget bukan kepalang, ia hanya terkesima mendapat perlakuan semacam itu.
“Kamu itu pendatang baru disini. Kalo mau apa-apa Tanya dulu. Jangan sok belagu disini!” kata wanita itu lagi. Dari bisik-bisik yang didengar Zaitun,ia mengetahui bahwa wanita yang telah berbuat semena-mena dengan menedang tasnya secara kasar adalah Sukinem.
“Maaf mbak, saya tidak tahu,” kata Zaitun gentar, Nyalinya langsung ciut. Sepertinya ia telah bertemu dengan dedengkot rumah penampungan ini. Para TKW yang lain hanya beringsut ciut mendengar Sukinem marah-marah. Mereka menjauh seperti tidak mau ambil perkara dengan Sukinem ini.
“Lain kali tanya dulu, jangan selonong boy aja,” sungutnya kesal. Zakiah wanita yang tadi mengantar Zaitun, hanya tersenyum sinis. Lalu pergi begitu saja bagai pesawat tempur, begitu perumpamaan iwan fals pada bait lagu, pesawat tempur. Zaitun lalu mengambil tasnya yang baru saja ditendang oleh Sukinem. Zaitun kini bingung, harus ditaruh dimana tas-tasnya ini. Ingin bertanya pada salah satu dari mereka, tapi muka mereka seakan memasang tampang permusuhan. Zaitun jadi bingung sendiri, apa kesalahannya sehingga membuat mereka jadi seperti melihat musuh padanya? Apakah ini dunia penampungan? Pikirannya kalut.
“Tas kamu ditaruh saja di belakang jendela tersebut,” Sukinem tia-tiba menyuruhnya menaruh tas dibelakang jendela tersebut, seperti yang diperintahkan oleh Sukinem.
“Nanti malam kamu tidur disini,” katanya lagi. Sukinem menunjuk tempat yang bertepatan dengan pintu kamar mandi. Zaitun hanya bisa mengangguk. Ia tak bisa menolak dan memberontak pada Sukinem. Ia hanya bisa tertegun setelah memperhatikan lebih seksama ternyata tempat itu sangat bau dan kotor. Sukinem hanya tersenyum sinis, ia tidak perduli bagaimana seseorang bisa tidur ditempat yang kotor dan bau seperti itu.
Begitulah rumah penampunan yang baru beberapa jam saja dihuni oleh Zaitun. Awalnya tampak baik-baik saja, lalu berubah seperti disebuah hutan. Rumah penampungan itu ibarat sebuah hutan, siapa yang kuat dia yang berkuasa. Sukinem ibarat macan, siap menerkam siapa saja yang berani melawannya. Sedangkan Zaitun yang bertubuh ramping dan tampak kurus itu, hanya bisa berdoa pada Tuhan, semoga ia diberikan ketabahan. Zaitun seperti keluar dari kandang macan dan kemudian lari masuk ke kandang Buaya. Maksudnya untuk mencari tempat perlindungan setelah ia kabur dari rumah majikannya, tapi sekarang ia tiba di rumah penampungan yang sarat dengan kekerasan batin.
Hari pertama Zaitun dilalui dengan penuh kejutan. Pertama masuk ia hampir dibuat menangis oleh penjaga pintu KBRI dengan beberapa pertanyaan yang diajukan. Kemudian bertemu dengan bu Tia yang ramah, kemudian bertemu dengan Zakiah orang yang aneh, karena tidak ada angin dan hujan bersikap sinis padanya, yang terakhir adalah Sukinem, jagoan rumah penampungan asal Jember. Dari cerita yang didapat Zaitun, Sukinem telah 10 bulan berada di rumah penampungan tersebut. Sukinem lari dari tempat majikannya karena ketauan sedang mencuri jam majikannya. Sukinem tidak dapat pulang ke Indonesia karena dokumen penting miliknya ditahan oleh majikannya. Kini ia menunggu sidang pengadilan yang akan ditempuhnya. Majikannya menuntut Sukinem atas tuduhan tindakan pencurian. Jika tuduhan itu benar adanya seperti yang diadukan oleh majikannya, maka ia akan mendapat hukuman yang berat. Pihak KBRI sudah berusaha mencoba mendamaikan majikannya untuk menarik tuduhan tersebut, tapi majikan Sukinem tetap pada pendiriannya untuk memperkarakan Sukinem ke meja hijau. Pihak KBRI hanya bisa pasrah, mereka sudah mencoba untuk membantu Sukinem dengan memberikan bantuan hukum pada Sukinem, untuk memperingan tuduhan dari majikannya.
Sukinem stess atas kasusnya tersebut. Imbasnya adalah kini perangainya menjadi jahat dan brutal. Ia seperti ingin lari dari masalah, dengan menjadi penguasa di rumah penampungan tersebut. Akibat prilakunya tersebut para TKW terpecah menjadi beberapa kelompok. Ada kelompok Banten, kelompok Jember, kelompok berebes, banyumas dan lain-lain. Mereka berusaha melawan setiap Sukinem yang asal Jember tersebut dengan kelompoknya hendak menebar perintah. Masing-masing kelompok ada jagoannya. Akibatnya sering terjadi perkelahian diantara mereka. Pihak KBRI bukannya tidak tahu akan kejadian di rumah penapungan tersebut. Tapi pihak KBRI membiarkan, karena masih banyak kasus yang memerlukan penanganan lebih serius. Mereka dibiarkan menyelesaikan sendiri perselisihan diatara mereka. Kalau sudah melewati batas, maka baru pihak KBRI turun tangan, untuk menengahi persoalan di rumah penampungan tersebut.
Waktu Makan telah tiba, para pengungsi masing-masing mengambil makanan yang telah mereka masak sendiri atas pasok kebutuhan makanan yang disediakan oleh rumah penampungan. Rumah penampungan memang hanya menyediakan stok kebutuhan pokok untuk makan para TKW, sedangkan untuk memasaknya diserahkan kepada para TKW. Hari itu lauk adalah opor ayam, sambel terasi, tempe dan tahu. Cukup mengasikan untuk makanan para TKW di rumah penampungan tersebut. Pihak KBRI memang menyediakan kebutuhan bahan pokok yang sesuai standar para pengungsi. Para TKW ibarat pengungsi, mereka butuh perhatian bukan saja dalam bidang hukum, tapi juga dalam hal makanan sehari-hari, yang semuanya dibantu oleh rumah penampungan dalam pengawasan pihak KBRI Abu Dhabi.
Zaitun tampak sumringah. Ia akhirnya dapat makanan juga. Setelah tadi hanya diberi roti dua buah dan segelas susu hangat oleh ibu Tia pengelola rumah penampungan. Jadwal di rumah penampungan bila pagi hari memang roti gandum, sedangkan untuk makan siang barulah tersedia nasi danlauk pauknya. Sebenarnya ada persediaan nasi di sediakan, tetapi para TKW jadi seperti ketularan orang arab, makan pagi dengan melahap roti gandum. Tapi sebenarnya banyak juga para TKW yang melahap nasi, berhubung Zaitun kehabisan, jadilah ia hanya mendapat sarapan pagi roti gandum.
Zaitun tampak gemetar memegang nampan berisi makanannya. Ia menuju sebuah tempat kosong yang tidak terisi oleh para TKW yang sudah mengambil tempatnya masing-masing. Rasa lapar sudah sangat mengganggu konsentrasinya, yang dipikirkannya sekarang ini adalah makanan untuk menhilangkan rasa laparnya. Tiba-tiba tubuhnya terdorong oleh sebuat tangan dari belakang. Makanan yang ada di nampan jatuh ‘brak!’. Nasi, opor ayam serta dua potong tempe dan tahu tampak berantakan.
“Makanya kalo jalan jangan meleng!” begitu kata Sukinem diiringi tawa para pengikutnya. Mereka tampak tertawa seperti tak bersalah. Sementara Zaitun hanya bisa memungut nasi yang sudah berantakan tersebut. Nasi itu sepertinya tidak dapat dimakan lagi, karena sudah tercampur dengan pecahan beling yang berserakan. Zaitun dengan pandangan nanar hanya bisa tertunduk dan berusahan memungut dan merapikan makan dan pirin yang jatuh. Tidak terasa air mata mengalir dipipinya. Zaitun menangis, badannya berguncang hebat. Ia sudah tidak tahan menahan emosi yang ada didada sejak pertama kali datang.
Ini adalah air pertama Zaitun di rumah penampungan. Setelah sebelumnya air matanya jatuh ditempat majikannya Al’Saadi, nun jauh didaerah Al’ain tempatnya bekerja. Dengan isak tangisnya Zaitun membersihkan makanan yang jatuh. Sukinem hanya tertawa renyah bersama pengikutnya. Setelah bersih Zaitun kembali kebawah, untuk kembali mengambil makanan. Betapa terkejutnya ia setelah mendapati ternyata makanan itu telah habis ludes. Berarti makanan yang jatuh itu adalah makanan terakhir untuknya. Zaitun hanya bisa memendam laparnya dalam hati. Untuk mengurangi rasa lapar ia meneguk susu yang tersedia di meja makan rumah penampungan yang terletak didapur belakang.
Beruntung Zaitun, Ibu Tia menyuruhnya membersihkan kamarnya, untuk kemudian memberikan Zaitun makanan khas arab yaitu nasi dan daging domba bakar yang dibawa oleh ibu Tia dari tempat pertemuannya dengan orang arab untuk stafnya. Tapi stafnya tidak masuk hari ini, sehingga jatah itu diberikan pada Zaitun. Kemudian Zaitun makan dengan lahap, seperti orang yang tidak makan berhari-hari. Ibu Tia hanya memandang dengan haru, melihat Zaitun makan dengan lahap. Ibu tia seperti sudah tahu apa yang terjadi. Pasti ulah Sukinem yang membuat Zaitun sedih sejak kedatangannya meeting dengan orang arab berubah jadi gelisah dan terlihat sedih. Laporan tentang makanan Zaitun yang dijatuhkan Sukinem telah didengar olehnya, dari seorang TKW yang iba pada Zaitun.
“Ada kabar gembira untukmu Zaitun,” kata Ibu Tia disela-sela makan Zaitun yang tampak lahap.
“Majikanmu, telah mengerti keadaanmu dan mengembalikan paspor milikmu serta gaji dua bulan yang belum dibayarkan. Bulan depan kamu sudah bisa pulang ke Indonesia, setelah urusan dokumen selesai” Zaitun menghentikan makannya. Buru-buru ia lap remehan nasi yang ada di mulutnya dengan lengannya.
“Benarkah itu bu.. Alhamdulilah…” pekik Zaitun gembira. Lalu spontan ia memeluk ibu Tia setelah sebelumnya mencium tangannya berulang-ulang. Ibu Tia hanya bisa membelai rambut Zaitun. Zaitun kembali menangis, ini adalah tangisan kedua yang dirasakannya. Setelah sebelumnya adalah tangisan duka. Rasa lapar yang menderanya langsung hilang seketika. Kabar yang dibawa oleh ibu Tia telah menghilangkan rasa laparnya. Berita ia bisa pulang bulan depan adalah kabar pertama dan terbaik yang didengarnya di rumah penampungan tersebut. Kabar gembira bahwa ia akan meninggalkan rumah penampungan bersama para TKW dan Sukinemnya yang telah membuatnya menderita walau hanya sebentar.
Cintakah?
betapa susah mengungkap isi hati
semuanya berjalan begitu cepat
hilang sudah hasrat yang menumpuk
satu persatu hilang melewati hati
perasaan tetap saja masih bersemayam
hati ini tak dapat dibohongi
rasa itu masih ada dan selalu ada
terasa susah bila sudah terjerat
hidup bagai di alam lain
semuanya serba indah
tapi juga menyesatkan
rasa sesal baru mengintai
kala rasa itu menyakitkan
hingga kita tak bisa menyadarinya
terpuruk, terjatuh dan tertinggal
Apalagi yang tersisa?
(Cerpen dan Puisi ini diikutkan dalam lomba "Juara" Group TAMAN SASTRA,